MEG,-Jakarta: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinilai sangat perlu direvisi. Demikian ditegaskan Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dhahana Putra, Minggu (15/9/2024).
“Melalui revisi tersebut, diharapkan anak yang terlibat dalam kejahatan mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang efektif,” ujarnya. Di satu sisi, lanjutnya, hak-hak anak yang menjadi korban juga tetap terjaga.
Menurut Dhahana, urgensi revisi UU ini sangat berkaitan dengan tren peningkatan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). “Harus diakui kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak belakangan ini meningkat,” ujarnya. Sehingga, timbul pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) kepada ABH dapat berjalan efektif. Pasal 7 Ayat (1) UU 11/2012 mengatur ABH pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan wajib diupayakan diversi.
Apabila ABH melakukan tindak pidana maka diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun. “Namun, belakangan terdapat peningkatan kasus kejahatan oleh anak yang diancam pidana di atas tujuh tahun penjara,” ujarnya.
Padahal, aturan diversi UU 11/2012 tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman pidana di atas tujuh tahun. Karena itu, Dhahana menegaskan UU tersebut perlu disesuaikan dan direvisi untuk proses hukum yang lebih adil. “Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai,” ujarnya. Sehingga anak-anak yang menjadi korban mendapatkan keadilan dan di sisi lain hukuman diberikaan tanpa mengabaikan hak anak.
